News Update :

Wednesday, March 7, 2012

SUDAHKAH KAU BERDAKWAH UNTUK ORANG-ORANG TERDEKAT YANG KAU CINTAI?

By at 5:54 PM
send email
print this page
Saya punya seorang teman, seorang aktivis dakwah, sebut saja namanya Bejo. Ia bergabung dalam organisasi rohis di kampus dan beberapa gerakan dakwah lain di luar kampus. Kholaqoh, Kajian rutin setiap akhir pekan, bakti sosial, mentoring dan masih banyak kegiatan dakwah lain pasti dia ikuti. Mobilitasnya yang luar biasa ini membuat waktunya bersama keluarga menjadi sedikit. Hampir setiap hari dia berangkat ke kampus pagi hari dan pulang malam. Teman-temannya mengenal Bejo sebagai sosok yang baik, sopan dan ramah. Ditambah lagi pengetahuan agamanya yang luas. Banyak yang suka berdiskusi dengannya karena pemahamannya akan ilmu agama sangat baik. Suatu ketika saya bersilahturahmi ke rumahnya pada akhir pekan. Karena saya sama sekali tak tau daerah dimana ia tinggal, maka kami bertemu di kampus pada pukul 11 siang. Lalu bersama-sama menuju rumahnya. Rumah Bejo cukup besar dengan warna dominan hijau. Yang terpikirkan oleh saya, keluarga Bejo adalah keluarga yang pastinya begitu taat dengan prinsip-prinsip agama. Namun first impression saya langsung berubah ketika pertama kali saya langsung disuguhkan pemandangan mencengangkan.

“Assalammu’alaikum”. Ujar Bejo.

“Wa’alaikumsalam”. Ujar seorang perempuan yang tampak lebih dewasa dari saya dengan cuek sambil melirik sedikit ke arah saya dan Bejo.

Danang langsung mengajakku masuk ke kamarnya tanpa menemui orang tuanya lebih dulu.

“Yah inilah kamarku, Fi”

“Itu tadi siapa, Jo?”. Ujar saya tak menanggapi perkataan Bejo

“Itu kakakku. Mbak Inem”.

Saya sedikit terkejut karena saya kira perempuan tadi itu pembantu keluarga Bejo sebab busana yang ia kenakan lumayan minim menurut pandangan saya. ‘mungkin karena  sedang di rumah’ batin saya.

“Jo, gue pergi bentar. Pamitin ke bonyok”. Teriak mbak Inem dari beranda depan rumah.

“Iya mbak”. Jawab Bejo.

Saya masih bisa melihat mbak Inem yang pergi keluar rumah dengan bajunya yang lumayan minim itu. tak lama setelah itu adzan berkumandang. Danang pun segera mengajakku sholat berjamaah.

“Orang tuamu lagi pada pergi?”

“Nggak kok. Mamaku ada di dapur. Papa paling lagi di kamar atas”.

“Oh ngga bareng mereka sholatnya?”.

Anehnya Bejo hanya tersenyum tak menjawab. Belakangan akhirnya saya pun tau dari Bejosendiri bagaimana keadaan keluarganya. Ternyata  Jauh dari yang saya pikirkan sebelumnya. Ilmu agama yang didapat oleh Bejo bukanlah dari keluarganya. Tapi dari lingkungan luarnya. Berbeda dengan saya yang memang dari keluarga sudah begitu kuat menanamkan prinsip-prinsip agama kepada saya sedari kecil. Saya masih begitu teringat jika saya malas sholat dan ngaji bapak atau ibu saya selalu siap ‘membantai’ saya.

Orang tua Bejo hidup nyaris tanpa menanamkan ilmu agama dalam keluarga. Ya sholat sih sholat, tetapi hanya sekedarnya saja. Tak jarang pula mereka tidak sholat lima waktu dalam sehari. Belum lagi saudara satu-satunya, mbak Inem yang terlihat begitu bebas dalam menjalani hidup. Tidak menutup aurat dan acapkali membawa teman laki-lakinya yang bukan muhrim alias pacarnya ke rumah.

“Kau sudah pernah mencoba mengingatkan mereka?” Bejo sedikit tersentak mendengar pertanyaanku yang seolah-olah belum pernah ia dengar sebelumnya.

“Ee..ee..maksudmu...”

“iya mengingatkan. Berdakwah Jo. Ke mereka, keluargamu”.

Bejo diam sesaat. Lalu berkata pelan “Selama ini aku cuma lari, Fi”.

Well guys, apakah kalian seorang aktivis dakwah? Mengikuti segabrek kegiatan dakwah di kampus, di luar kampus bahkan mungkin di luar kota? Bekerja untuk umat? Siang dan malam? Makan dan minum nyaris tak teratur? Namun kepuasan hati berhasil kau peroleh karena kau merasa bahwa ‘kau telah berdakwah dengan baik’ untuk kemaslahatan umat?

Saya tak mengharap jawaban luar biasa dari pertanyaan-pertanyaan di atas. tapi ada satu pertanyaan yang terkadang kita sama sekali lupa akan pertanyaan itu. “Sudahkah kita berdakwah dalam keluarga kita?”. seringkali kita sadar akan pertanyaan yang muncul tiba-tiba di kepala dan hati kita tapi terkadang kita mengabaikannya. Banyak, banyak sekali aktivis dakwah yang begitu bersemangat berdakwah di luar bersama organisasi-organisasi keislamannya. Mengorbankan segalanya tapi sayangnya malah lupa pada keluarga sendiri. Sepulang dari berdakwah ‘mati-matian’ diluar, sang aktivis dakwah tak terlalu menggubris keadaan keluarganya yang (mungkin) sedang tersesat.

Coba simak firman Allah ini:

“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al-Ankabut: 3)

 Kawan, bukan tidak mungkin di antara kita, para aktivis dakwah mengalami hal yang serupa dengan Bejo. Jangankan kita, para ustadz pun juga ada yang mengalami hal seperti itu. mungkin saja ia sukses dalam berdakwah diluar tapi nyatanya ia gagal dalam dakwah di keluarganya sendiri. Kita sanggup sholat lima waktu ditambah sholat sunnahnya, tapi adik kita bahkan begitu malas untuk memenuhi satu waktu saja. Kita sanggup dan begitu lancar membaca Al-Qur’an beserta terjemahannya tapi kakak kita saja terbata-bata membacanya. Kita sanggup menutup aurat, menjaga batasan dalam berhubungan dengan yang bukan muhrim, tapi saudara perempuan atau saudara laki-laki kita masih saja menghalalkan pacaran yang dapat dengan mudah dikendalikan setan menuju maksiat.  Sungguh ironi.

Kisah semacam ini bukan hanya kita yang mengalami. Tapi sudah dialami oleh para Nabi sejak zaman dahulu. Ingatkah kisah Nabi Nuh? Anaknya ngeyel dan tidak mau mengikuti nabi Nuh begitu pula istrinya hingga mereka ditenggelamkan bersama kaumnya yang angkuh.

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir,istri Nuh dan istri Luth... ; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya, ... ;dan dikatakan (kepada kedua istri itu) “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk neraka” (At-Tahrim: 10)

 Ingatkah pula dengan kisah istri nabi Luth yang ikut dibinasakan oleh Allah?

“Maka kami selamatkan dia dan keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (An-Naml: 57)

Bahkan kawan, nabi besar kita Muhammad SAW pun mengalami hal serupa. Hingga nafas terakhir, paman beliau yang selalu melindungi dari orang-orang kafir, Abu Thalib, tak kunjung mengucapkan kalimat syahadat.

Lantas apa hubungannya dengan kita? mari ingat kembali kawan apa yang dialami Nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lainnya. Apa yang sudah mereka lakukan untuk dakwah. Yang paling mudah diingat tentunya kisah Nabi Muhammad SAW yang dihina, dicaci, diludahi bahkan akan dibunuh karena perjuangan dakwahnya. Sebenarnya resiko itu pula yang akan kita hadapi ketika kita menegakkan dakwah, terutama di luar rumah dan kita berani mengambil resiko itu. Tapi lantas kenapa kita justru loyo untuk berdakwah di rumah? apakah iya kita nanti akan diludahi oleh keluarga kita sendiri jika kita mengingatkan mereka menuju kebaikan? Bahkan kita belum mencobanya, kawan.

Bukan pula hanya terjadi di rumah. mungkin pula terjadi di kos-kosan. Secara kebetulan mungkin kita tinggal satu kos dengan teman yang kurang baik perilakunya meskipun ia seorang muslim. Tapi bukan hal yang bijak jika kita langsung memutuskan untuk pindah kos sebelum kita berusaha mengingatkannya. Berusahalah dahulu untuk mengingatkan. Perkara dia berhasil atau tidak, entah dia marah atau tersinggung, itu urusan belakangan. Yang penting mari berdakwah dulu. Lari bukanlah pemecahan masalah. Ingatlah Nabi Yunus yang ditegur Allah dengan mengujinya di dalam perut ikan yang gelap setelah Ia lari dari kaumnya dengan keadaan marah.

Sudah begitu banyak contoh yang dapat kita amati mungkin pada diri sendiri mungkin pada orang lain. Hai ukhti, jilbabmu besar panjang, kau selalu menutup aurat kemana-mana tapi kau tau bahwa ibumu dan juga adik perempuanmu belum juga menutup aurat hingga sekarang. Tak maukah kau berjuang menyelamatkan mereka? Hai akhi, kau selalu bangun untuk sholat tahajud tapi kau tau bahkan ayahmu seringkali lalai bangun untuk sholat subuh. Kau takut membangunkan beliau yang tampak begitu letih bekerja seharian untuk membiayai kuliahmu. Takut mana kau melihat beliau kurang istirahat karena kau bangunkan untuk memenuhi kewajiban atau melihat beliau disiksa di alam akhirat nanti. Sanggupkah kita tega kawan, berada di surga sendiri sementara keluarga kita tersesat entah dimana?

Kini saya paham mengapa dulu ayah saya bisa berubah menjadi seorang ‘penghajar’ ketika melihat kenakalan saya yang nyaris melampaui batas. Saya paham kenapa beliau menjerit histeris ketika melihat adik saya berani membantah orang tua. Saya mengerti mengapa beliau berkata lantang “bapak berseru kepada orang lain, tapi anak sendiri kelakuannya kurang ajar”.beliau paham betul akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Beliau tak ingin ‘labelnya’ sebagai seorang ustadz tak mampu membawa anak-anak dan istrinya ke syurga dan beliau tak mau pergi kesana sendirian tanpa kami.

Keluarga seharusnya menjadi ladang pertama dalam dakwah kita. ingatlah firman Allah ini:

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;...” (At-Tahrim:6)

Mari kita sama-sama koreksi diri. kita setiap hari berusaha keras memperjuangkan masyarakat yang madani, mengkritik sistem sosial yang seharusnya lebih baik, tapi apakah sudah kita berusaha merubah keluarga kita menjadi keluarga yang madani? Ada benarnya apa yang sering dikatakan A’a Gym. Bahwa kiat merubah bangsa adalah lewat 3M : Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil dan mulai dari saat ini. bukan tak mungkin keberhasilan dakwah kita di luar menjadi sia-sia saja jika kita bahkan sama sekali tak menyentuh ranah dakwah di keluarga.

Saya pun tak ingin pergi ke surga tanpa ayah, ibu, adik dan kakak saya. bagaimana dengan anda?

Wallahu’alam

Afrizal Luthfi L

Share This :
-
 
© Copyright 2010-2011 Donasi untuk Dakwah All Rights Reserved.
Design by Borneo Templates | Sponsored by Wordpress Themes Labs | Powered by Blogger.com.